Kamis, 07 Januari 2010

Rabu, 19 Agustus 2009

WELFARE STATE

Sistem Jaminan Sosial Nasional dan "Welfare State"

Oleh: Kartono Mohamad



PEMERINTAH berencana mengajukan Rancangan Undang-Undang Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional ke DPR. Melalui undang-undang itu pemerintah berniat mengatur agar setiap orang di negara ini mendapatkan layanan kesehatan dasar secara "cuma- cuma", jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan santunan akibat kecelakaan kerja.

Masalah pelayanan kesehatan memang mendapat porsi yang banyak dalam RUU ini, mungkin karena selama ini dirasakan bahwa banyak orang terpaksa tidak berobat kalau sakit karena tidak sanggup membayar biayanya, atau baru berobat ketika sudah parah. Saya berikan tanda kutip untuk kata cuma-cuma karena sebenarnya rakyat tetap membayar hanya saja melalui iuran yang bersama-sama dikumpulkan di satu wadah. Wadah itulah kemudian yang akan membayar ke dokter atau rumah sakit ketika ada rakyat, baik kaya atau miskin, yang sakit.

Hal semacam ini sebenarnya sudah banyak dilakukan di negara lain dan biasanya disebut sebagai kebijakan welfare state. Kata welfare state memang sulit diterjemahkan dengan tepat dan ringkas ke dalam bahasa Indonesia. Welfare state bukanlah negara kesejahteraan, tetapi lebih tepat diartikan bahwa beberapa pelayanan yang berkaitan dengan kesejahteraan warga negara sepenuhnya disediakan oleh pemerintah, khususnya pendidikan dan pelayanan kesehatan (medical care). Beberapa negara Eropa Barat bahkan menambahkan juga jaminan hari tua (pensiun) dan kecelakaan kerja. Konsep welfare state sebenarnya dilaksanakan di negara-negara dengan sistem kapitalis (termasuk Swedia yang sosialistis), sedangkan di negara-negara komunis yang dikenal adalah "sistem sosialis". Bedanya terletak pada sumber dana untuk membiayai pelayanan-pelayanan tersebut.

Di negara-negara kapitalis yang sosialistik seperti negara-negara Eropa Barat, dana itu diperoleh dari iuran warga negara (pekerja), iuran dari pengusaha (employer), dan sebagian kecil diambil dari kas negara. Di negara-negara komunis, karena tidak ada pengusaha (swasta), maka dana itu sepenuhnya ditanggung oleh negara. Praktis semua pekerja adalah bekerja untuk negara, oleh karena itu kesejahteraan mereka juga ditanggung oleh negara. Di negara kapitalis yang liberal, seperti Amerika Serikat (AS), hal itu sepenuhnya diserahkan kepada setiap warga negara, melalui sistem asuransi swasta yang mandiri. Hanya untuk mereka yang miskin dan menganggur diberi bantuan untuk pelayanan kesehatan melalui program Medicaid, dan untuk yang sudah lanjut usia (di atas 65 tahun) mendapat santunan dari program Medicare.

DENGAN RUU Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional (SKSN) yang dirancang oleh Pemerintah Indonesia, tidak jelas kita akan menganut sistem yang mana. Yang pasti bukan sistem "sosialis" seperti di negara-negara komunis karena industri (termasuk pertanian) tidak dikuasai oleh negara sehingga pekerja bukanlah bekerja pada negara, kecuali pegawai negeri, TNI, dan Polri. Dalam sistem asuransi kesehatan bagi pegawai negeri pun dana masih diambil dari potongan gaji pegawai negeri itu sendiri. Dilihat dari konsep RUU SKSN, khususnya untuk pelayanan kesehatan, agaknya Indonesia ingin meniru sistem AS yaitu terserah setiap orang memilih perusahaan asuransi yang disukai. Hanya khusus untuk orang miskin sepenuhnya akan ditanggung negara.

Bedanya dengan AS, RUU SKSN mewajibkan setiap orang ikut dalam asuransi kesehatan. Meskipun di dalamnya disebut tentang pendidikan dan jaminan hari tua, RUU ini memang lebih banyak berbicara tentang asuransi kesehatan. Sehingga dari RUU ini tidak jelas juga apakah Indonesia akan melaksanakan konsep welfare state seperti negara-negara Eropa Barat, atau sebatas penyelenggaraan asuransi kesehatan.

Meniru model asuransi kesehatan Eropa Barat ataupun model AS ada prasyaratyang harus dipenuhi supaya beban pemerintah tidak terlalu berat dan pemanfaatan dana pemerintah tidak salah arah.

Syarat pertama adalah angka pengangguran harus rendah sehingga jumlah yang mampu ikut membayar iuran wajib semakin tinggi. Program askes di AS memang diperkenalkan pertama kali justru ketika ekonomi sedang memburuk (malaise) di pertengahan tahun 30-an. Teta- pi jangan lupa bahwa penggerak program tersebut adalah bukan pemerintah tetapi American Medical Association (Persatuan Dokter Amerika) dengan nama Blue Shield (dan kemudian disusul oleh Blue Cross yang dikembangkan oleh persatuan rumah sakit), yang didukung penuh oleh para anggotanya.

Zaman malaise ikut memukul juga penghasilan praktik para dokter, maka dengan memperkenalkan program asuransi kesehatan model Blue Shield ini memungkinkan penghasilan para dokter dan rumah sakit tetap bertahan karena masyarakat tidak perlu lagi membayar mereka secara tunai. Juga karena saat itu pelayanan kesehatan belum berkembang menjadi suatu usaha bisnis sepenuhnya, serta belum dibebani oleh biaya pengadaan alat-alat canggih. Barulah kemudian muncul asuransi kesehatan swasta dengan berbagai bentuknya. Program Medicare dan Medicaid, yang dibiayai pemerintah federal, baru muncul di awal tahun 60-an.

Kelemahan sistem Amerika ini adalah bahwa ia tidak dapat mengendalikan peningkatan biaya kesehatan yang semakin tinggi dan peningkatan biaya ini ternyata juga tidak diikuti dengan perbaikan derajat kesehatan rakyat. Model Amerika ini juga membuat seseorang dapat berganti perusahaan asuransi kapan saja dia mau sehingga banyak perusahaan asuransi yang harus gulung tikar karena perilaku ini. Hillary Clinton pernah hendak melakukan reformasi dalam sistem asuransi kesehatan ini tetapi gagal karena konsepnya tidak disetujui Kongres. Kondisi Indonesia dalam ekonomi mungkin mirip dengan AS di tahun 30-an, tetapi kondisi pelayanan dan perilaku dokter tidak sama dengan AS pada waktu itu.

Syarat kedua adalah pertumbuhan industri dan ekonomi yang mampu mendukung. Di negara-negara Eropa Barat, sebagian besar dari dana askes, asuransi pensiun dan asuransi kecelakaan diperoleh dari iuran pemilik modal. Sebagian kecil merupakan iuran para pekerja (termasuk petani), dan pemerintah menombok kekurangannya terutama untuk mereka yang menganggur dan yang miskin. Yugoslavia (dulu) memulai askesnya hanya untuk pekerja industri, sementara untuk para petani baru menyusul kemudian setelah seluruh petani menjadi anggota kooperasi. Korea Selatan juga memulai program askes universalnya setelah industri dan ekonomi tumbuh kuat.

Syarat ketiga adalah sistem administrasi penduduk yang baik dan terkontrol sehingga yang mendapat santunan dari dana pemerintah adalah yang benar-benar berhak. Selain itu pemerintah harus juga menetapkan kriteria miskin secara lebih obyektif dan transparan. Tidak semata-mata diserahkan kepada lurah atau kepala desa untuk menetapkannya. Nampaknya di bagian inilah kelemahan kita yang utama. Di sisi lain upaya untuk memperbaiki mutu pelayanan juga belum menjadi komitmen dari pemerintah, dokter dan pengusaha rumah sakit. Pengertian mutu masih ditampilkan dalam aspek-spek yang hedonistik yang tidak mencerminkan efisiensi pemanfaatan biaya yang harus dibayar.

DI dalam RUU SKSN ini juga disebutkan bahwa setiap orang wajib ikut dalam program ini, berarti mereka yang tidak ikut dapat dikenai sanksi hukum. Memang direncanakan bahwa pewajiban ini akan dilakukan secara bertahap tetapi hal ini akan dapat pula mengundang dilema. Mereka yang mampu akan bersikap menunggu dulu bagaimana mutu pelayanan yang akan mereka peroleh, sementara yang miskin sudah akan segera meminta hak-haknya, sehingga cita-cita subsidi silang antara yang mampu dan yang miskin tidak segera terjadi. Berarti negara harus menyediakan dana besar untuk menomboki selisihnya. Tingginya kemiskinan dan pengangguran serta rendahnyakemampuan finansial pemerintah saat ini, mampukah pemerintah menyediakan dana tersebut?

Di sisi lain, jika masyarakat sampai kecewa oleh pelayanan yang diberikan akibat keterbatasan dana pemerintah dan lemahnya komitmen dokter dan rumah sakit terhadap program ini, akan sangat sulit untuk memulihkan kepercayaan itu, baik bagi yang mampu maupun yang miskin. Dan yang terakhir, jika rakyat wajib ikut serta (dan bisa dikenai sanksi jika tidak ikut), bagaimana jika pemerintah tidak dapat memenuhi janjinya. Sanksi apa yang dikenakan pada pemerintah?

Dengan kata lain, program SKSN memang menarik dan nampak indah di atas kertas, tetapi untuk menjadikannya sebagai kenyataan diperlukan perhitungan yang benar-benar matang. RUU SKSN baru berbicara tentang tata cara pengelolaan dana yang ditarik dari rakyat tetapi belum berbicara tentang besaran iuran serta pengelolaan pelayanan yang akan diberikan.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0406/16/opini/1076462.htm

Senin, 09 Maret 2009

PERILAKU PENGGUNA JALAN = BUDAYA SETEMPAT

Sepanjang dimungkinkan setiap pengguna jalan boleh memilih patuh atau sebaliknya justru melawan dan tidak patuh kepada tata aturan lalu lintas jalan raya, satu-satunya pertimbangan adalah apakah berani atau tidak seseorang menanggung akibatnya. Anda boleh saja memacu kendaraan sewajarnya dengan mengutamakan memilih bahu jalan sebelah kiri demi keteraturan. Tetapi tidak tertutup kemungkinan anda berkendara dengan kecepatan tinggi sembari menunjukkan kebolehan atraksi zigzag dan lain sebagainya. Hak setiap orang untuk memutuskan kapan akan menyalakan klakson, mendahului atau tidak, bahkan anda dapat memilih memakai helmet pelindung kepala atau tidak. Pejalan kaki bisa saja menyeberang secara sembarangan sebaliknya orang bisa memilih tangga penyeberangan atau zebra cross. Keberanian dan nyali seseorang bisa jadi menentukan pilihan dan perilaku pengguna jalan, lebih dari itu ada sesuatu yang lebih bernilai yaitu tatanilai yang dianut serta kebenaran yang diyakini. Yang kita sebut terakhir ini adalah wujud dari kebiasaan bahkan budaya seseorang yang tidak kurang pentingnya menentukan perilaku seseorang dalam berlalu lintas. Tingkah polah pengguna jalan merupakan ekspresi jiwa suatu kaum yang sesungguhnya. Dengan demikian tidak berkelebihan apabila dikatakan: disiplin dan tertib lalu lintas pengguna jalan disuatu tempat adalah cermin tingkat keberadaban bangsa itu.